Sebagai sebuah konstruksi, sejarah bukan melainkan historiografi yang merupakan produk dari refleksi kultural dan kesadaran intelektual tentang masa lalu.
Biarpun objektivitas merupakan nilai utama dalam konstruksi sejarah, pada prinsipnya sejarah sebagai historiografi tidak akan pernah terbebas dari subjektivitas, yang merupakan produk intersubjektivitas atas peristiwa sejarah yang obyektif.
Sejarah sebagai materi bahan ajar bukan masalalu itu sendiri melainkan historiografi, masa lalu yang mengalami interprestasi dan pemaknaan yang baik oleh sejarawan sebagi agen intelektual maupun jiwa zaman dan perspektif yang mendasari konstruksi sejarah yang dihasilkan.
Setiap pembelajaran sejarah di sekolah memiliki tujuan obyektif dan subjektif. Hal yang pertama berkaitan dengan sejarah sebagi ilmu dan pengetahuan, nilai, dan keterampilan, sedangkan hal terakhir selalu berhubungan dengan kepentingan baik praktis maupun kultural dan politis.
Historiografi Indonesia, dekolonisasi tanpa dekolonialisasi. Indonesiasentrisme yang mendasari diri pada nasionalisme Indonesia hadir sebagai perspektif tandingan terhadap kolonialsentrisme. Terjebak dalam cara berfikir yang sejajar dengan kolonialsentrisme, dan etnosentrisme diadopsi sebagai Indonesiasentrisme.
Paradoks menjadi ciri penting yang sering hadir dalm Indonesiasentrisme. Mendasarkan diri pada prinsip orang Indonesia sebagai pusat peristiwa sejarah, namun kenyataannya sebagai konstruksi yang hadir adalah dominasi cerita tentang kekuasaan kolonial belanda yang eksploitatif, driskriminatif, segregatif. Orang Indonesia tetap ditempatkan sebagai objek bukan subjek.
Tidak pernah jelas kapan kekuasaan kolonial belanda berakhir, padahal kemerdekaan Indonesia diyakini dimulai sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Keberadaan Jepang di Indonesia disebut sebagai masa pendudukan, sementara menolak eksistensi kekuasaan Belanda atas Indonesia pascaperang.
Kasus klasik ekslusi dan inklusi etnosentris yang diadopsi sebagai Indonesiasentris. Aru Palaka La Tentri Tata penguasa Bugis hadir sebagai antogonis, sedangkan Sultan Hasanuddin dari Makassar ditempatkan sebagai pahlawan dalam naratif nasional berdasarkan perspektif Indonesiasentris. Padahal dalam kennyataan sejarah, mereka berdua sama-sama pernah hadir sebagai para pihak yang melakukan perlawanan terhadap Kompeni walaupun dalam konteks yang berbeda.
Ruang geografis dan ruang politis sejarah, sering dikategorikan sebagai sesuatu yang terpisah dan dipertentangkan secara tegas antara satu dengan yang lain. Sejarah dunia, sejarah regional, sejarah nasional, dan sejarah lokal.
Cara pandang konvesional, sejarah lokal sebagai sebuah kategori dibedakan dengan jenis sejarah yang lain karena ruang cakupan pembahasannya pada ruang geografis dan politis-administratif yang lebih kecil. Di Indonesia sejarah lokal sering samakan dengan sejarah daerah, yang dibedakan secara tegas dengan sejarah nasional.
Secara konseptual dalam konteks Indonesia, sering terjadi ketidakjelasan batas dari ruang nasional dan ruang lokal baik secara geografis maupun politis-administrasif, terutama sejarah pasca-kolonial. Peristiwa yang terjadi di Jakarta sebagai ibukota negara selalu diadopsi sebagai representasi dari muatan sejarah nasional, sedangkan peristiwa yang terjadi pada ruang politis-administratif setingkat provinsi, kabupaten, dan seterusnnya hanya ditempatkan sebagai bagian dari sejarah lokal, tanpa memperhatikan konteks dari peristiwa itu sendiri.
Perkembangan kategorisasi, sejarah nasional di tingkat lokal, yang dibedakan dari sejarah lokal sebagai sebuah kategori terpisah. Ekploitasi buruh perkebunan di Medan dan sekitarnya pada masa kolonial dan fakta-fakta dari pemilihan umum di kota Yogyakarta pada 1955 diadopsi sebagai sejarah nasional di tingkat lokal. Namun pada konteks yang lain, peristiwa di perkebunan dan pemilihan umum itu juga dikategorikan sebagai sejarah lokal Medan atau Sumatera Utara dan sejarah lokal kota Yogyakarta.
Dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal perlu dibedakan antara sejarah lokal sebagai metode dalam pengajaran sejarah, sejarah lokal sebagai pengetahuan tentang masa lalu lokal, sejarah lokal sebagai bagian dari pengetahuan tentang masa lalu yang luas secara geografi dan politis-administratif, dan sejarah lokal sebagai perspektif.
Sejarah lokal sebagai suatu yang penting dalam pembelajaran sejarah dalam ruang yang lebih luas, misalnya sejarah nasional. Sejarah lokal memiliki kemampuan untuk memberikan pemahaman tentang sejarah nasional yang dekat atau tidak asing dengan peserta didik. Pembelajaran sejarah nasional menjadi mudah dipahami karena materi bahan ajar yang bermuatan konteks lokal yang menyertai.
Bahan sampai batas tertentu, sejarah lokal juga dapat digunakan untuk mengajarkan sejarah regional dan bahkan global. Keberadaan komunitas Arab, India, Tionghoa, dan Indo di berbagai daerah sampai saat ini, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah regional dan global.
Sejarah lokal sebenarnya bukan hanya sekedar pengetahuan atau konstruksi atas masa lalu lokal. Jika pembelajaran sejarah lokal tidak dikaitkan dengan konteks yang lebih luas, maka sejarah lokal hanya akan menjadi antikuarian dan peserta didik hanya akan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sempit, seperti katak dalam tempurung.
Sebagai sebuah perspektif, sejarah lokal yang diajarkan tanpa memperhatikan konteks Indonesiasentris akan mudah terjebak pada etnosentrisme yang mengabaikan arti penting yang lebih luas, atau sebaliknya menjadikannya seolah-olah naratif nasional yang mengusung hegemoni etnis atau ikatan primordial tertentu.
Perluasan kategorisasi, sejarah lokal tidak hanya sekedar sejarah daerah, melainkan sejarah komunitas dan sejarah publik.
Pembelajaran sejarah lokal yang digabungkan dengan prinsip-prinsip sejarah komunitas dan sejarah publik tidak hanya mengantar para peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman atas ruang sejarah dan kekinian dimana dia berada,
Melainkan juga perspektif sebagai keterampilan lunak dan keahlian sebagai keterampilan keras untuk kehidupan sebagai inspirasi dan keterampilan untuk berproduksi.
Pembelajaran sejarah lokal juga akan mampu memunculkan perhatian baru terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu, seperti genealogi, sejarah keluarga, pustaka, dan museum, baik untuk kepentingan pribadi maupun publik. Pada tatanan ini prinsip-prinsip mengkonsumsi sejarah menjadi suatu yang penting untuk dibicarakan lebih lanjut. Sejarah bukan lagi menjadi milik sejarawan akademik atau mereka yang terdidik secara formal untuk menjadi sejarawan, melainkan semua orang bisa menjadi sejarawan. Sejarah dapat menginspirasi baik masyarakat atau individu menjadi lebih kreatif dan inovatif melalui berbagai karya dan profesi.